Jumat, 06 Desember 2013

Bagaimana Sejarah Batik Ponorogo?

Bagaimana Sejarah Batik Ponorogo?

        Secara Kebudayaan, Batik Masuk Ke Ponorogo Sejak Abad Ke 15, Ketika Ki Ageng Hasan Besari Tegalsari Menikah Dengan Salah Satu Putri Keraton Surakarta. Pada Saat Itu Juga Kebudayaan Keraton Surakarta Di Bawa Ke Ponorogo Termasuk Batik. Hingga Kemudian Pada Awal Abad Ke 20 (Sekitar Tahun 1900-1930an), Adalah Era Dimulainya Industri Batik Di Ponorogo.

          Konon seorang pengusaha Tionghoa bernama Wi-Sing memiliki sebuah usaha produksi batik yang besar, yang mampu memproduksi kain batik dalam jumlah yang banyak. Produksi batik dari rumah produksi batik Wi-Sing ini dipasarkan hingga ke Malaysia dan Jepang. Kesuksesan Wi-Sing inilah kemudian menginspirasi masyarakat Ponorogo mendirikan industri batik. Bermula belajar dari para teknisi batik asal Tulungagung yang datang ke Ponorogo, maka industri batik di Ponorogo semakin berkembang dan semakin banyak masyarakat Ponorogo yang menekuni industri batik.

     Industri batik Wi-Sing bertempat di utara komplek stasiun kereta api Ponorogo ,Jl.Soekarno-Hatta, sekarang . Produksi batik Ponorogo dari Wi-Sing didominasi batik kasar yang berharga murah, istilahnya batik Banyumasan. Tidak ada yang mencatat sejak kapan Wi-Sing memulai industri batiknya di Ponorogo. Bersama dengan berkembangnya industri batik di Ponorogo dan situasi negara Indonesia yang masih belum stabil, pada tahun 40-an industri batik Wi-Sing perlahan-lahan surut hingga akhirnya tutup dan konon kabarnya seluruh keluarga Wi-Sing pindah ke Malaysia dan menjadi warga negara disana.
            Semakin banyak masyarakat Ponorogo yang terjun di industri Batik, hingga kemudian pada tahun 1948, berdirilah koperasi batik yang pertama di Ponorogo, yaitu “Koperasi Batik Bakti”. Pada waktu itu masih sedikit yang menjadi anggota koperasi, hingga kemudian tahun 1955, terkumpul lebih dari 300 anggota, yang semuanya adalah pengusaha dan pengrajin batik. Kantor Koperasi Batik Bakti Ponorogo pertama berdiri berlokasi di rumah bapak Jamhuri (di Jl.KH.Ahmad Dahlan No.71, sekarang).  2 tahun kemudian Koperasi Batik Bakti mampu membangun kantor nya sendiri di timur Pasar Legi (Timur Pasar Songgolangit, Jl.Ahmad Dahlan No.43, sekarang).
       Koperasi Batik Bakti ini berkembang sangat pesat, hingga pada tahun 1956 mampu membangun pabrik tekstil sendiri milik Koperasi Batik Bakti, berlokasi di desa Purwosari Kecamatan Babadan. Pabrik tekstil ini mulai beroperasi pada tahun 1958, tetapi belum mempunyai mesin tenun yang memadai.  Seiring dengan meningkatnya produksi, kemudian mesin tenun semakin bertambah jumlahnya, yang khusus didatangkan dari Jepang, hingga berjumlah kurang lebih 100 buah mesin. Tiap 1 buah mesin tenun ini mampu memproduksi kain mori (kain putih polos untuk bahan batik) sebanyak 48 yard (91,2 meter) per harinya atau sekitar 9.120 meter kain per hari. Semua hasil produksi dari pabrik tekstil ini seluruhnya hanya untuk memenuhi kebutuhan anggotanya saja. Bisa dibayangkan betapa sangat besar dan majunya industri batik di Ponorogo waktu itu. Namun sekarang,  pabrik tekstil milik Koperasi Bakti ini sudah di tutup dan tidak beroperasi lagi sejak tahun 2002 silam.
Presiden Soekarno saat peresmian Gedung Pembatik Ponorogo
Gedung Pembatik Ponorogo

         Sentra Industri batik di Ponorogo waktu itu tersebar hingga ke daerah Kertosari, Patihan Wetan (Kauman Pasar Pon, dulu), Pondok, Cekok, Kadipaten, Ngunut  dan Kanten di wilayah kecamatan Babadan. Di wilayah kecamatan Ponorogo seperti di Nologaten, Bangunsari, Banyudono, Cokromenggalan dan Mangunsuman.  Untuk wilayah kecamatan Jenangan di Setono dan wilayah kecamatan Siman di Kelurahan Ronowijayan. Banyaknya jumlah pengusaha dan pengrajin batik ini kemudian menginspirasi untuk membuat sebuah koperasi batik sendiri, setelah Koperasi Batik Bakti.
     Koperasi batik yang baru ini hasil gabungan dari 3 koperasi batik yang sudah ada–Koperasi Batik Kertosari, Koperasi Batik Patihan Wetan dan Koperasi Perbaikan di desa Pondok, Babadan–hingga kemudian terbentuklah koperasi batik yang di beri nama “Koperasi Pembatik” pada tanggal 9 Desember 1953. Kantor Koperasi Pembatik ini pada awalnya berada di rumah Bapak Wongsohartono di desa Pondok kecamatan Babadan. Kemudian Dalam waktu yang singkat, pada tahun 1955, Koperasi Pembatik telah mempunyai 150 anggota dan mencatatkan omzet hingga 5juta rupiah setiap bulannya.
    Pada tahun 1960, Koperasi Pembatik memulai mendirikan pabrik tekstil “Sandang Buana”, berlokasi di Jl.Arif Rahman Hakim, sekarang digunakan menjadi Pabrik Es. Pabrik tekstil ini beroperasi tahun 1964 dan secara bertahap kemudian mempunyai kurang lebih 200 mesin, yang mampu memproduksi kain mori kasar (kain blacu) sebanyak 25 meter per hari, per mesin. Hasil produksi kain mori kasar ini kemudian di finishing di Solo, menjadi kain mori halus. Seperti halnya pabrik tekstil milik Koperasi Bakti, hasil dari pabrik tekstil Sandang Buana juga hanya untuk memenuhi kebutuhan anggota Koperasi Pembatik saja. Senasib dengan pabrik tekstil milik Koperasi Bakti, pabrik tekstil Sandang Buana pun akhirnya tutup dan tidak beroperasi lagi sejak tahun 2004. Sampai saat ini di Ponorogo masih ada 2 koperasi batik yang besar yaitu Koperasi Bakti & Koperasi Pembatik, hanya saja para anggotanya sudah tidak memproduksi batik .
      Industri batik di Ponorogo meredup sekitar akhir tahun ‘60an hingga tahun ‘70an. Banyak faktor yang mempengaruhi surutnya industri batik di Ponorogo. Salah satunya adalah munculnya batik printing (batik dengan cetak sablon). Batik printing ini harganya lebih murah karena biaya produksi lebih ekonomis dan mampu memproduksi masal hanya dalam waktu yang singkat. Semenjak itu, jatah bahan mentah untuk batik dari koperasi–seperti kain,bahan pewarna,malam, dsb–akhirnya di jual dengan begitu saja, tidak untuk memproduksi batik. Dari penjualan bahan mentah batik ini saja, para pengusaha dan pengrajin batik anggota koperasi sudah mendapatkan untung yang berlipat, demikian yang dituturkan Bapak Muchsin, sesepuh Koperasi Batik Bakti.
       Lambat laun, semakin banyak pengusaha dan pengrajin batik yang tidak memproduksi batik lagi, bahkan kemudian beralih profesi/bidang usaha . Sisa-sisa kejayaan industri batik Ponorogo masih bisa kita saksikan di gaya arsitektur rumah dan bangunan yang ada di daerah-daerah sentra industri batik. Rumah dan bangunannya kebanyakan kurang lebih sama, yaitu sedikit berbau arsitektur Eropa dengan konstruksi yang tebal dan kokoh, atap yang tinggi, pilar yang besar, pintu dan jendela kaca.

Corak dan motif batik Ponorogo banyak mengangkat tema flora dan fauna yang motifnya condong ke Solo dan Yogjakarta. Motif batik Ponorogo waktu itu antara lain adalah Kawung,  Sekar Jagad, Parang Lancip, Parang Menang, Semen Rama, Loreng dan lain sebagainya, yang sekarang di abadikan menjadi nama-nama jalan di daerah sentra industri batik seperti di Cokromenggalan, Kertosari, Patihan Wetan dan Kadipaten.  Saat ini masih ada beberapa pengrajin yang masih memproduksi batik, baik batik tulis atau pun batik cap. Skala produksinya tentu saja sangat kecil, dibandingkan dengan kejayaan batik  masa lalu. Salah satu pengrajin batik yang masih bertahan di Ponorogo adalah Ibu Mariana. Lokasi produksi batik Ponorogo Ibu Mariana ini berada di Jl. Semeru No.30 Kelurahan Nologaten kecamatan Ponorogo. Beliau hingga saat ini masih memproduksi batik tulis dan batik cap secara tradisional.
        Soal motif batik, sebenarnya batik Ponorogo belum mempunyai motif yang menciri-khaskan Ponorogo, begitu yang di tuturkan Ibu Mariana. Istilahnya, motif Batik Ponorogo masih belum menemukan cengkok yang menciri-khaskan Ponorogo. Beliau membuat sendiri motif merak–diambil dari kesenian Reyog  Ponorogo–yang biasa dijumpai dan dipakai ketika acara Grebeg Suro. Salah satu motif merak yang terkenal hasil kreasi Ibu Mariana ini kemudian di namai motif Merak Grebeg. Masih ada lagi beberapa motif merak kreasi ibu Mariana, tetapi karena jumlahnya masih sangat sedikit, sehingga belum bisa disebut sebagai sebuah ciri-khas Ponorogo. Menurut ibu Mariana, butuh lebih banyak lagi pengrajin, pengusaha dan seniman batik Ponorogo yang memproduksi batik, untuk akhirnya menemukan cengkok dan melahirkan legitimasi motif ciri khas Ponorogo.
Batik Tulis Ponorogo; Mas Nano
          Selain ibu Mariana, ada satu lagi pengrajin batik tulis yang produktif, yaitu Mas Nano dari desa Nambak kecamatan Bungkal (persis sebelah barat balai desa Nambak). Setiap bulannya perusaahan Fajar Batik miliknya, dengan 15 orang karyawan, mampu memproduksi kurang  lebih 20 lembar kain batik tulis. Batik tulis produksi Fajar Batik mas Nano, di pasarkan di Jakarta selalu laris manis habis terjual dengan harga berkisar 200 ribu untuk batik yang menggunakan pewarna sintetis dan berkisar 300 ribu untuk batik tulis dengan menggunakan pewarna alami dari dedaunan. Motif batik Fajar Batik mas Nano ini banyak bercerita tentang kesenian Reyog Ponorogo, seperti motif kuda kepang yang di beri nama motif Kepang Pecut dan Merak Kepang. Usaha batik ini adalah usaha turun temurun dari generasi ke generasi, meskipun sempat terputus, tetapi sekarang dilanjutkan lagi oleh mas Nano. Batik Ponorogo mempunyai keunggulan di pewarnaannya, begitu yang di tuturkan mas Nano. Hal tersebut dikarenakan air di Ponorogo banyak mengandung kapur, yang mana bagus untuk pewarnaan batik.
        Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober 2009. Batik Ponorogo, baik industri, budaya dan unsur seninya, adalah sebuah manifestasi dari kebijaksanaan dan kejeniusan budaya lokal yang sangat butuh untuk dilestarikan. Dengan segala kebersahajaannya, batik Ponorogo tertatih, hampir tak tersentuh ditengah hiruk pikuk dunia yang semakin tidak peduli.  Butuh kemauan kuat dan sinergi yang solid dari berbagai elemen masyarakat dan institusi terkait, untuk bisa mengantarkan batik Ponorogo kembali ke masa kejayaannya. (KRC-Sigid)

Sumber :  http://kotareog.com/2013/05/batik-ponorogo/



2 komentar:

  1. sama-sama sob,,seneng aja udah bsa share seni budaya Indonesia.

    BalasHapus
  2. Mantaaap...ternyata luar biasa sekali.....ponorogo memang memiliki potensi yang luar biasa...terima kasih tulisannya. Menarik sekali Dila punya foto sukarno meresmikan pabrik batik ini. adakah data foto lainnya, dan bisakah saya mendapatkan.

    BalasHapus